Berbicara
tentang etika maka tidak terlepas dari perilaku dan tindakan manusia yang
terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada
masyarakat.
Sedangkan
kepolisian pada intinya merupakan aparat penegak hukum yang
bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan keamanan masyarakat.
Sehingga dengan adanya etika kepolisian mampu dijadikan barometer oleh pihaknya
untuk menjadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi
penegak hukum.
Memang
Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang beretika,
jujur, bersih, dan mengayomi masyarakat. Tetapi kita semua tahu, kendalanya
sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan
melemahnya penghayatan dan pengamalan etika kepolisian.
Etika
sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi sosial dan lingkungan
dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan etika
kepolisian yang tidak mantap, merupakan faktor penyebab kurang dalamnya
pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah
goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam
pembangunan jati diri yang sejati.
Manfaat
etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi,
sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya,
pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi
masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara
terhormat didalam masyarakat.
Etika
kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika
dilaksanakan dengan baik. Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi
seperti etika lainnya. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian
itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi
kepolisian itu sendiri belum seragam.
Sehingga
dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa
ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police
Cultura) yang dominan pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya.
Profesionalitas
Sejarah
panjang telah membentuk kepolisian Indonesia yang menjadi polri pada saat ini.
Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang telah dicapai polisi, telah
terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak keamanan yang mengantar
pembangunan Bangsa dan Negara. Polisi terus berjuang keras, karena belum mampu
menjawab tuntutan pelayanan masyarakat yang meningkat cepat sebagai hasil
pembangunan, sedangkan kemampuan polisi nyaris tidak berkembang, celaan,
cemoohan serta tudingan bahwa polisi tidak profesional.
Ketidak
profesinalan pihak kepolisian tercermin dari berbagai aksi yang dilakukan,
seperti adanya kasus mafia peradilan dan tindakan suap menyuap selama ini. Hal
tersebutlah menjadi rujukan masyarakat luas bahwa pihak kepolisian kita
belumlah profesional betul dalam menjalankan tugasnya. Hemat penulis setidaknya
ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan profesionalisme seorang
polisi.
Pertama,
adalah faktor human resources atau sumber daya manusia (SDM).
Membicarakan SDM kita tak bisa melepaskan diri dari proses rekrutmen anggota
polisi. Hanya melalui rekrutmen yang baik dan transparanlah dapat diharapkan
dihasilkannya anggota polisi yang baik.
Sayangnya,
seakan telah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa jika ingin menjadi
polisi, orang haruslah menyetor sejumlah uang tertentu kepada para pengambil
kebijakan rekrutmen. Memasuki dunia kepolisian bagi polisi dengan
melalui cara demikian menjadi tak ubahnya memasuki dunia bisnis. Ini tentu
bukan sesuatu yang baik, karena polisi bekerja bukan berdasar logika untung
rugi, akan tetapi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Visi Misinya.
Kedua, adalah faktor keteladanan.
Pendidikan dan latihan di bidang kepolisian telah dirancang sedemikian rupa
untuk membentuk seorang warga negara menjadi polisi yang mampu
menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat.
Namun
demikian, apa yang sudah diterima dalam tahap pendidikan dan latihan itu
tidaklah dengan serta merta akan membentuk karakter seorang polisi yang
diidealkan. Seorang polisi terikat oleh hierarki komando yang ketat. Dalam
konteks relasi bawahan dan atasan ini, keteladanan memegang peranan
penting dalam pembentukan watak seorang polisi.
Jika
sang atasan tak mampu memberikan teladan yang baik, ia akan ditiru oleh anak
buah, atau setidaknya menjadi justifikasi bagi polisi muda bahwa senior mereka
pun melakukan hal yang sama.
Ketiga adalah berkaitan dengan faktor
kedisiplinan. Membicarakan kedisiplinan polisi akan terkait erat dengan
prosedur dan mekanisme pemberian sanksi kepada mereka yang terbukti tidak
profesional dalam menjalankan tugasnya. Pemberian sanksi tentunya disesuaikan
dengan berat ringannya kesalahan dan memperhatikan tujuan pemberian sanksi,
yakni efek jera bagi yang melanggar maupun sebagai peringatan bagi anggota
polisi yang lain.
Terbentuknya
etika dan profesionalitas seorang penegak hukum, tentu saja pemulihan nama baik
dalam hati publik akan terwujud. Sehingga tetap di percaya sebagai garda depan
bangsa ini.
Etika dan Profesionalitas Polisi