Rabu, 14 Mei 2014

Etika dan Profesionalitas Polisi

Berbicara tentang etika maka tidak terlepas dari  perilaku dan tindakan manusia yang terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada masyarakat.

Sedangkan  kepolisian pada intinya merupakan  aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan keamanan masyarakat. Sehingga dengan adanya etika kepolisian mampu dijadikan barometer oleh pihaknya untuk menjadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum.

Memang Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang beretika, jujur, bersih, dan mengayomi masyarakat. Tetapi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalan etika kepolisian.

Etika sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi sosial dan lingkungan dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan etika kepolisian yang tidak mantap, merupakan faktor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan jati diri yang sejati.

Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakat.

Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik. Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam.

Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police Cultura) yang dominan pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya.

Profesionalitas
Sejarah panjang telah membentuk kepolisian Indonesia yang menjadi polri pada saat ini. Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang telah dicapai polisi, telah terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak keamanan yang mengantar pembangunan Bangsa dan Negara. Polisi terus berjuang keras, karena belum mampu menjawab tuntutan pelayanan masyarakat yang meningkat cepat sebagai hasil pembangunan, sedangkan kemampuan polisi nyaris tidak berkembang, celaan, cemoohan serta tudingan bahwa polisi tidak profesional.

Ketidak profesinalan pihak kepolisian tercermin dari berbagai aksi yang dilakukan, seperti adanya kasus mafia peradilan dan tindakan suap menyuap selama ini. Hal tersebutlah menjadi rujukan masyarakat luas bahwa pihak kepolisian kita belumlah profesional betul dalam menjalankan tugasnya. Hemat penulis setidaknya ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan profesionalisme seorang polisi.
Pertama, adalah faktor human resources atau sumber daya manusia (SDM). Membicarakan SDM kita tak bisa melepaskan diri dari proses rekrutmen anggota polisi. Hanya melalui rekrutmen yang baik dan transparanlah dapat diharapkan dihasilkannya anggota polisi yang baik.

Sayangnya, seakan telah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa jika ingin menjadi polisi, orang haruslah menyetor sejumlah uang tertentu kepada para pengambil kebijakan rekrutmen. Memasuki dunia kepolisian bagi polisi dengan melalui cara demikian menjadi tak ubahnya memasuki dunia bisnis. Ini tentu bukan sesuatu yang baik, karena polisi bekerja bukan berdasar logika untung rugi, akan tetapi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Visi Misinya.

Kedua, adalah faktor keteladanan. Pendidikan dan latihan di bidang kepolisian telah dirancang sedemikian rupa untuk membentuk seorang warga negara menjadi polisi yang  mampu menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

Namun demikian, apa yang sudah diterima dalam tahap pendidikan dan latihan itu tidaklah dengan serta merta akan membentuk karakter seorang polisi yang diidealkan. Seorang polisi terikat oleh hierarki komando yang ketat. Dalam konteks relasi bawahan dan atasan ini,  keteladanan memegang peranan penting dalam pembentukan watak seorang polisi.

Jika sang atasan tak mampu memberikan teladan yang baik, ia akan ditiru oleh anak buah, atau setidaknya menjadi justifikasi bagi polisi muda bahwa senior mereka pun melakukan hal yang sama.
Ketiga adalah berkaitan dengan faktor kedisiplinan. Membicarakan kedisiplinan polisi akan terkait erat dengan prosedur dan mekanisme pemberian sanksi kepada mereka yang terbukti tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Pemberian sanksi tentunya disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan dan memperhatikan tujuan pemberian sanksi, yakni efek jera bagi yang melanggar maupun sebagai peringatan bagi anggota polisi yang lain.


Terbentuknya etika dan profesionalitas seorang penegak hukum, tentu saja pemulihan nama baik dalam hati publik akan terwujud. Sehingga tetap di percaya sebagai garda depan bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar